Sampai ketemu perempatan Masjid Agung, belok ke arah Barat, lurus saja terus, di sana sudah ada banyak plang penunjuk jalan sampai ke Selarong," kata seorang bapak saat saya tersesat kala mencari Goa Selarong, petilasan Pangeran Diponegoro di Bantul, Yogyakarta, Minggu. Kami ingin merenungkan betapa agungnya Pangeran Diponegoro pada waktu itu yang membebaskan masyarakat dari penjajah.
Sepeda motor langsung saya pacu menekuri jalan sesuai informasi. Jalan aspal menuju goa cukup lebar dan kondisinya baik. Di kiri kanan. jalan terhampar sawah hijau diselingi pepohonan dan rumah-rumah penduduk yang tampak bersahaja.
Memasuki gapura utama goa dengan jalan yang melandai turun, seorang petugas di pos retribusi telah siap menyambut. Dengan harga tiket yang relatif murah, yaitu Rp 2.000 per orang, pengunjung diberi kebebasan untuk mengeksplorasi kawasan obyek wisata Goa Selarong yang cukup luas itu.
Seturut garis lurus dari pintu masuk utama, tepatnya di ujung pelataran yang bersisian dengan jalan menuju goa, tampak patung Pangeran Diponegoro berjubah dan bersorban putih, gagah menunggang kuda berwarna cokelat tembaga. Rerimbunan pepohonan semakin memperkuat imajinasi nuansa perjuangan Pangeran Diponegoro dengan laskarnya pada masa lalu. Di sebelah kanan patung, terpapar peta obyek wisata Goa Selarong.
Disebutkan, pengunjung dapat mengetahui bahwa selain goa, ada pula air terjun dan sendang yang dapat dikunjungi sebagai bagian dari kawasan wisata.
Di sebelah kiri kanan jalan penjaja minuman dan buah-buahan lokal, seperti sawo dan rambutan, dengan semangat menawarkan dagangannya dalam campuran bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Tapi, jangan bayangkan mereka seperti para pedagang di Borobudur yang terkesan memaksa. Pedagang yang ada di kawasan goa ini tak pernah memaksa, mungkin juga karena faktor usia. Saat saya meliput, tak ada seorang pun orang muda atau anakanak yang berjualan.
Setelah melewati lapak-lapak pedagang, puluhan anak tangga yang menjulang ke puncak bukit menyambut siapa saja yang berkunjung. Untunglah, ada ruang lebar setiap 10 anak tangga, tempat untuk bersantai sambil menikmati panorama alam.
Menurut keterangan penduduk setempat, pada saat hujan terdapat air terjun mengalir dari puncak bukit di seberang tangga. Kerena hari sedang cerah, maka saya hanya dapat membayangkan dan mengira-ngira keberadaan air terjun yang meluncur di punggung bukit tersebut.
Pohon kamboja dan beberapa jenis pohon lainnya tumbuh di kedua sisi tangga, sehingga terasa teduh perjalanan ini. Akhirnya tibalah juga di pelataran puncak, tempat di mana terdapat dua goa persembunyian yang dijuluki Goa Selarong. Di sisi kiri adalah Goa Kakung, yaitu goa yang dulu ditempati oleh Pangeran Diponegoro. Sedangkan di sisi kanan adalah Goa Putri, goa yang ditempati oleh RA Ratnaningsih, istri sang Pangeran yang setia menyertai.
Pengunjung yang terlihat di sekitar kawasan goa hanya sedikit saja. Mungkin lantaran hari sudah siang. Seorang pemilik warung mengatakan, Goa Selarong hanya ramai pada saat hari libur clan hari Minggu, itu pun di pagi hari. Jadi lumrah bila hanya tampak satu dua rombongan keluarga yang sedang bersantai di dekat goa dan beberapa pasang muda-mudi yang tengah asyik bercengkerama di sudut-sudut kawasan goa.
Di sebelah timur Goa Putri terdapat anak tangga yang dibangun di punggung bukit. Karena penasaran, saya pun menyusurinya. Anak tangga ini membelok ke kiri, mengarah ke puncak bukit. Menginjak beberapa anak tangga terakhir, mulai tampak atap pendopo yang dibangun di puncak bukit.
Setelah mengamati sebentar, saya melanjutkan perjalanan ke Sendang Manik Moyo. Untuk mencapai sendang ini, pengunjung harus melewati jembatan kecil di atas kali kering yang merupakan tempat mengalirnya limpahan air terjun di saat hujan.
Sampai di seberang jembatan, suasana cukup berbeda, tak tampak satu orang pun walau ada beberapa rumah yang terlihat di sepanjang jalan berlapis semen tersebut. Suasana cukup senyap, ditambah lagi beberapa rumpun pohon bambu yang berjajar mengangguk-angguk, serasa ingin mengisap setiap orang yang melaluinya masuk ke dimensi lain.
Setelah berjalan kurang lebih 100 meter, terdapat tanda panah menunjukkan jalan ke arah sendang. Saya sedikit ragu sebab jaIan itu adalah jalan tanah tanpa pembatas yang jelas. Selain itu, paparan cahaya matahari cukup minim karena rimbunnya pohon di jalan setapak tersebut.
Hening, sunyi, jauh dari hiruk pikuk kota. Hanya terdengar bisikan dedaunan dan gemercik air yang mengalir konstan melalui undakan parit bilah-bilah bambu di sisi kanan jalan setapak. Lintasan yang harus dilalui agak menanjak dan berlumut sehingga harus hati-hati.
Rasa ragu terjawab ketika terlihat dataran dengan kolam bata persegi di tengahnya. Dari dekat, terlihat jelas dasar kolam sedalam satu meter yang terisi air setinggi 20 sentimeter itu. Terpancang pula di dekatnya tonggak kayu bercat putih dengan papan bertuliskan "Sendang Manik Moyo".
Tapak Tilas
Obyek wisata lazimnya merupakan. tempat untuk mendapatkan kesenangan. Goa Selarong menawarkan nilai-nilai tersendiri bagi sebagian pengunjungnya. Selain membisikkan pesan-pesan perjuangan dan kemerdekaan, goa ini juga menjadi tujuan bagi para pengalap berkah. Mereka datang ke goa ini untuk "berwisata" batin.
Dalail Hariasta (51) yang berasal dari Kebumen, misalnya, mengajak istri dan keluarganya berkunjung ke Goa Selarong untuk menapak tilas perjuangan Pangeran Diponegoro yang semasa hidupnya adalah seorang pahlawan sekaligus ulama. Dalail mengatakan, kunjungannya ke Goa Selarong merupakan rangkaian laku tapak tilas sekembalinya dari ibadah Haji.
"Secara batin dan rohani, juga secara kejiwaan, kami ingin merenungkan betapa agungnya Pangeran Diponegoro pada waktu itu yang membebaskan masyarakat dari penjajah. Sekaligus kami juga ingin berdoa secara khusus untuk perjuangan Pangeran Diponegoro," jelas Dalail.
Vandalistis
Goa Selarong tidak mendapat kunjungan sebesar obyek wisata lain di Yogyakarta. Lebih disayangkan, tangan-tangan jahil mengotorinya. Berbagai karya vandalistis dalam rupa coretan-coretan grafis tampak dengan jelas di mana-mana, terutama di sekitar mulut goa clan pagar pembatas goa. Mungkin ini menunjukkan bangsa kita belum siap untuk menjadi bangsa yang besar.
Mudah-mudahan pada saat memeringati wafatnya Pangeran Diponegoro pada tanggal 8 Januari lalu, jika banyak orang berkunjung ke goa ini, mereka tifak meneruskan aksi pengotoran tempat-tempat bersejarah ini. Kita boleh becermin pada negara-negara maju, di mana tempat-tempat bersejarah mereka selalu bersih dan terawat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar