Mbah Maridjan (nama asli: Mas Penewu Suraksohargo)
Lahir di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman pada tahun 1927) adalah seorang juru kunci Gunung Merapi.
Amanah sebagai juru kunci ini diperoleh dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Setiap Gunung Merapi akan meletus, warga setempat selalu menunggu komando dari beliau untuk mengungsi.
Ia mulai menjabat sebagai wakil juru kunci pada tahun 1970. Jabatan sebagai juru kunci lalu ia sandang sejak tahun 1982.
Sejak kejadian Gunung Merapi mau meletus tahun 2006, Mbah Maridjan semakin terkenal. Karena faktor keberanian dan namanya yang dikenal oleh masyarakat luas tersebut, Mbah Maridjan ditunjuk untuk menjadi bintang iklan salah satu produk minuman energi.
Keluarga
Mbah Maridjan mempunyai beberapa anak
* Mbah Ajungan
* Raden Ayu Surjuna
* Raden Ayu Murjana
Mbah Ajungan menjadi penasihat presiden Sukarno tahun 1968-1969, kemudian menjadi wali Mangkunagara VIII tahun 1974-1987.
Mbah Maridjan (Kuncen Gunung Merapi, Yogyakarta)
Ia mempunyai seorang isteri yang bernama Ponirah (73), 10 orang anak (lima diantaranya telah meninggal), 11 cucu dan 6 orang cicit. Anak-anak Mbah Maridjan yang masih hidup bernama Panut Utomo (50), Sutrisno (45), Lestari (40), Sulastri (36), dan Widodo (30). Mereka ada yang memilih tinggal di Yogyakarta dan ada pula yang di Jakarta. Di antara anak-anak Mbah Maridjan, juga ada yang siap mewarisi tugas sebagai juru kunci Gunung Merapi dan kini telah menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta.
Pada tahun 1970 Mbah Maridjan diangkat menjadi Abdi dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta dan oleh Sultan Hamengku Buwono IX diberi nama baru yaitu, Mas Penewu Suraksohargo1. Pada saat itu, sebagai abdi dalem, Mbah Maridjan diberi jabatan sebagai wakil juru kunci dengan pangkat Mantri Juru Kunci, mendampingi ayahnya yang menjabat sebagai juru kunci Gunung Merapi. Pada saat menjadi wakil juru kunci ini Mbah Maridjan sudah sering mewakili ayahnya untuk memimpin upacara ritual labuhan di puncak Gunung Merapi. Setelah ayahnya wafat, pada tanggal 3 Maret 1982, Mbah Maridjan diangkat menjadi juru kunci Gunung Merapi.
Sebagai seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta dengan jabatan juru kunci, Mbah Maridjan juga menunjukkan nilai-nilai kesetiaan tinggi. Meskipun Gunung Merapi memuntahkan lava pijar dan awan panas yang membahayakan manusia, dia bersikukuh tidak mau mengungsi.
Sikapnya yang terkesan mbalelo itu, semata-mata sebagai wujud tanggung jawabnya terhadap tugas yang diamanatkan Ngarsa Dalem. Menurutnya Gunung Merapi adalah pusatnya jagad di Tanah Jawa. Dia juga percaya Gunung Merapi adalah gunung yang “hidup” yang akan senantiasa bertambah dan berubah, sehingga jika memang Gunung Merapi meletus berarti gunung berapi yang paling aktif di dunia itu sedang “berubah” atau “bertambah”. Menghadapi situasi tersebut ia mengajak siapa saja memohon keselamatan kepada yang Mahakuasa agar terhindar dari bahaya. Permohonan itu ditempuh oleh Mbak Maridjan melalui laku tirakat (puasa mutih) dan doa-doa dengan cara berjalan mengelilingi Dukuh Kinahrejo tiga putaran setiap malam.
Dalam bahasa Mbah Maridjan, gejolak di Gunung Merapi diterjemahkan sebagai “eyang” yang melenggahinya sedang punya hajat membangun “keraton”. Mbah Maridjan yang pantang menggunakan istilah “Gunung Merapi meletus”, menjelaskan bahwa di saat eyang sedang punya hajat semua orang di lingkungan Merapi harus sabar, tabah dan tawakal. Di Gunung Merapi, menurut Mbah Maridjan, lenggah (bertahta) sejumlah penguasa, di antaranya Eyang Empu Romo, Eyang Empu Permadi dan Eyang Panembahan Sapujagad.
Entah disadari atau tidak, secara kebetulan lokasi permukiman Mbah Maridjan di Dukuh Kinahrejo relatif terlindung dari ancaman awan panas Gunung Merapi, karena berada di balik tebing yang disebut Geger Boyo (punggung buaya). Tebing yang dari kejauhan tampak seperti punggung buaya dengan kepala mengarah ke atas itu dianggap warga lereng Merapi sebagai “benteng pertahanan” dari serangan awan panas.
Pandangan Kultural
Mbah Maridjan sebagai juru kunci Gunung Merapi lebih banyak melihat fenomena menggunakan naluri yang merujuk pada kebiasaan niteni. Keyakinannya tentang ancaman bahaya letusan Gunung Merapi yang hampir tidak pernah merambah Dukuh Kinahrejo memberikan pelajaran niteni bahwa lingkungan alam di sisi selatan Gunung Merapi masih merupakan benteng pertahanan bagi warganya.
Dalam kosmologi keraton Yogyakarta, dunia ini terdiri atas lima bagian. Bagian tengah yang dihuni manusia dengan keraton Yogyakarta sebagai pusatnya. Keempat bagian lain dihuni oleh makhluk halus. Raja bagian utara bermukin di Gunung Merapi, bagian timur di Gunung Semeru, bagian selatan di Lain Selatan, dan bagian barat di Sendang Ndlephi di Gunung Menoreh. Namun, jauh dari ungkapan-ungkapan itu ada suatu keyakinan yang hidup di dalam masyarakat di sekitar Gunung Merapi bahwa gunung dengan segala macam isinya dan makhluk hidup yang mendiami wilayah ini menjadi suatu komunitas. Oleh karena itu, ada hubungan saling menjaga dan saling melindungi. Ketika salah satu anggota mengalami atau melakukan sesuatu maka ia akan memberi “isyarat” kepada yang lain dan ia akan memberitahukan kepada yang lain. Demikian pula, ketika Merapi batuk-batuk ia juga memberi isyarat kepada yang lain termasuk kepada Mbah Maridjan. Oleh karena saat itu isyarat belum diterima Mbah Marijan, maka ia berpendapat bahwa Merapi tidak akan melakukan sesuatu. Selanjutnya, Mbah Maridjan tidak mau diajak mengungsi (meninggalkan Gunung Merapi).
Dalam konteks Gunung Merapi, semakin canggih teknologi yang digunakan, semakin seksama pengamatan dilaksanakan, maka pengetahuan yang dtemukan semakin mendekati kebenaran, yaitu tanda-tanda Gunung Merapi akan meletus. Tanda-tanda itu adalah keluarnya awan panas dan lahar baik yang panas maupun yang dingin. Bertolak dari pemikiran itu, maka masyarakat sekitar Merapi harus menjauh dari Merapi (mengungsi ke daerah dengan radius 8--10 kilometer dari puncak Merapi). Sementara itu, secara epistemologis, dasar dari pengetahuan itu adalah cara menemukan pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan yang ditemukan oleh para pengikut positivisme hanya salah satu jenis saja. Pengetahuan yang dibangun oleh para pengikut pandangan positivisme bersifat eksternal dan bisa dibuktikan kebenarannya dengan cara mencocokkan langsung dengan relitasnya. Misalnya, dikatakan Gunung Merapi akan meletus 10 hari lagi (kata Sultan Hamengku Buwono X) maka ditunggu saja selama sepuluh hari ke depan sejak pernyataan itu diungkapkan. Ternyata ketika sudah lewat 20 hari juga Merapi tidak meletus, maka pernyataan itu tidak benar. Akibatnya, banyak para pengungsi kembali ke rumah masing-masing.
Pengetahuan Mbah Maridjan dibangun bukan dalam pandangan positivisme. Oleh karena itu, keliru jika ada usaha memeriksa kebenarannya dengan cara positivisme. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh Mbah Maridjan bersifat personal dan internal karena tidak dinyatakan dengan: kata-kata, simbol-simbol (nyata), atau formula matematis. Dalam konteks yang lebih luas pengetahuan Mbah Maridjan dapat digolongkan ke dalam pengetahuan yang tak terungkapkan. Pengetahuan tak terungkapkan merupakan integrasi antara kegiatan intelektual dengan unsur-unsur pengalaman personal ke dalam satu pemahaman. Pemahaman menyeluruh tentang sesuatu terdiri atas fakta-fakta partikular yang dicermati oleh kelompok positivisme dan pengetahuan tentang keseluruhan yang dibangun oleh banyak kelompok lain. Pengetahuan kita yang menyeluruh tentang Merapi adalah gabungan antara pengetahuan yang dibangun oleh kelompok positivisme (ahli gunung berapi) ditambah dengan pengetahuan yang tak terungkapkan yang dikonstruksi oleh anggota komunitas Gunung Merapi yang lain. Masing-masing mempunyai aktivitas, prosedur dan temuan yang khas.
Lahir di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman pada tahun 1927) adalah seorang juru kunci Gunung Merapi.
Amanah sebagai juru kunci ini diperoleh dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Setiap Gunung Merapi akan meletus, warga setempat selalu menunggu komando dari beliau untuk mengungsi.
Ia mulai menjabat sebagai wakil juru kunci pada tahun 1970. Jabatan sebagai juru kunci lalu ia sandang sejak tahun 1982.
Sejak kejadian Gunung Merapi mau meletus tahun 2006, Mbah Maridjan semakin terkenal. Karena faktor keberanian dan namanya yang dikenal oleh masyarakat luas tersebut, Mbah Maridjan ditunjuk untuk menjadi bintang iklan salah satu produk minuman energi.
Keluarga
Mbah Maridjan mempunyai beberapa anak
* Mbah Ajungan
* Raden Ayu Surjuna
* Raden Ayu Murjana
Mbah Ajungan menjadi penasihat presiden Sukarno tahun 1968-1969, kemudian menjadi wali Mangkunagara VIII tahun 1974-1987.
Mbah Maridjan (Kuncen Gunung Merapi, Yogyakarta)
Ia mempunyai seorang isteri yang bernama Ponirah (73), 10 orang anak (lima diantaranya telah meninggal), 11 cucu dan 6 orang cicit. Anak-anak Mbah Maridjan yang masih hidup bernama Panut Utomo (50), Sutrisno (45), Lestari (40), Sulastri (36), dan Widodo (30). Mereka ada yang memilih tinggal di Yogyakarta dan ada pula yang di Jakarta. Di antara anak-anak Mbah Maridjan, juga ada yang siap mewarisi tugas sebagai juru kunci Gunung Merapi dan kini telah menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta.
Pada tahun 1970 Mbah Maridjan diangkat menjadi Abdi dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta dan oleh Sultan Hamengku Buwono IX diberi nama baru yaitu, Mas Penewu Suraksohargo1. Pada saat itu, sebagai abdi dalem, Mbah Maridjan diberi jabatan sebagai wakil juru kunci dengan pangkat Mantri Juru Kunci, mendampingi ayahnya yang menjabat sebagai juru kunci Gunung Merapi. Pada saat menjadi wakil juru kunci ini Mbah Maridjan sudah sering mewakili ayahnya untuk memimpin upacara ritual labuhan di puncak Gunung Merapi. Setelah ayahnya wafat, pada tanggal 3 Maret 1982, Mbah Maridjan diangkat menjadi juru kunci Gunung Merapi.
Sebagai seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta dengan jabatan juru kunci, Mbah Maridjan juga menunjukkan nilai-nilai kesetiaan tinggi. Meskipun Gunung Merapi memuntahkan lava pijar dan awan panas yang membahayakan manusia, dia bersikukuh tidak mau mengungsi.
Sikapnya yang terkesan mbalelo itu, semata-mata sebagai wujud tanggung jawabnya terhadap tugas yang diamanatkan Ngarsa Dalem. Menurutnya Gunung Merapi adalah pusatnya jagad di Tanah Jawa. Dia juga percaya Gunung Merapi adalah gunung yang “hidup” yang akan senantiasa bertambah dan berubah, sehingga jika memang Gunung Merapi meletus berarti gunung berapi yang paling aktif di dunia itu sedang “berubah” atau “bertambah”. Menghadapi situasi tersebut ia mengajak siapa saja memohon keselamatan kepada yang Mahakuasa agar terhindar dari bahaya. Permohonan itu ditempuh oleh Mbak Maridjan melalui laku tirakat (puasa mutih) dan doa-doa dengan cara berjalan mengelilingi Dukuh Kinahrejo tiga putaran setiap malam.
Dalam bahasa Mbah Maridjan, gejolak di Gunung Merapi diterjemahkan sebagai “eyang” yang melenggahinya sedang punya hajat membangun “keraton”. Mbah Maridjan yang pantang menggunakan istilah “Gunung Merapi meletus”, menjelaskan bahwa di saat eyang sedang punya hajat semua orang di lingkungan Merapi harus sabar, tabah dan tawakal. Di Gunung Merapi, menurut Mbah Maridjan, lenggah (bertahta) sejumlah penguasa, di antaranya Eyang Empu Romo, Eyang Empu Permadi dan Eyang Panembahan Sapujagad.
Entah disadari atau tidak, secara kebetulan lokasi permukiman Mbah Maridjan di Dukuh Kinahrejo relatif terlindung dari ancaman awan panas Gunung Merapi, karena berada di balik tebing yang disebut Geger Boyo (punggung buaya). Tebing yang dari kejauhan tampak seperti punggung buaya dengan kepala mengarah ke atas itu dianggap warga lereng Merapi sebagai “benteng pertahanan” dari serangan awan panas.
Pandangan Kultural
Mbah Maridjan sebagai juru kunci Gunung Merapi lebih banyak melihat fenomena menggunakan naluri yang merujuk pada kebiasaan niteni. Keyakinannya tentang ancaman bahaya letusan Gunung Merapi yang hampir tidak pernah merambah Dukuh Kinahrejo memberikan pelajaran niteni bahwa lingkungan alam di sisi selatan Gunung Merapi masih merupakan benteng pertahanan bagi warganya.
Dalam kosmologi keraton Yogyakarta, dunia ini terdiri atas lima bagian. Bagian tengah yang dihuni manusia dengan keraton Yogyakarta sebagai pusatnya. Keempat bagian lain dihuni oleh makhluk halus. Raja bagian utara bermukin di Gunung Merapi, bagian timur di Gunung Semeru, bagian selatan di Lain Selatan, dan bagian barat di Sendang Ndlephi di Gunung Menoreh. Namun, jauh dari ungkapan-ungkapan itu ada suatu keyakinan yang hidup di dalam masyarakat di sekitar Gunung Merapi bahwa gunung dengan segala macam isinya dan makhluk hidup yang mendiami wilayah ini menjadi suatu komunitas. Oleh karena itu, ada hubungan saling menjaga dan saling melindungi. Ketika salah satu anggota mengalami atau melakukan sesuatu maka ia akan memberi “isyarat” kepada yang lain dan ia akan memberitahukan kepada yang lain. Demikian pula, ketika Merapi batuk-batuk ia juga memberi isyarat kepada yang lain termasuk kepada Mbah Maridjan. Oleh karena saat itu isyarat belum diterima Mbah Marijan, maka ia berpendapat bahwa Merapi tidak akan melakukan sesuatu. Selanjutnya, Mbah Maridjan tidak mau diajak mengungsi (meninggalkan Gunung Merapi).
Dalam konteks Gunung Merapi, semakin canggih teknologi yang digunakan, semakin seksama pengamatan dilaksanakan, maka pengetahuan yang dtemukan semakin mendekati kebenaran, yaitu tanda-tanda Gunung Merapi akan meletus. Tanda-tanda itu adalah keluarnya awan panas dan lahar baik yang panas maupun yang dingin. Bertolak dari pemikiran itu, maka masyarakat sekitar Merapi harus menjauh dari Merapi (mengungsi ke daerah dengan radius 8--10 kilometer dari puncak Merapi). Sementara itu, secara epistemologis, dasar dari pengetahuan itu adalah cara menemukan pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan yang ditemukan oleh para pengikut positivisme hanya salah satu jenis saja. Pengetahuan yang dibangun oleh para pengikut pandangan positivisme bersifat eksternal dan bisa dibuktikan kebenarannya dengan cara mencocokkan langsung dengan relitasnya. Misalnya, dikatakan Gunung Merapi akan meletus 10 hari lagi (kata Sultan Hamengku Buwono X) maka ditunggu saja selama sepuluh hari ke depan sejak pernyataan itu diungkapkan. Ternyata ketika sudah lewat 20 hari juga Merapi tidak meletus, maka pernyataan itu tidak benar. Akibatnya, banyak para pengungsi kembali ke rumah masing-masing.
Pengetahuan Mbah Maridjan dibangun bukan dalam pandangan positivisme. Oleh karena itu, keliru jika ada usaha memeriksa kebenarannya dengan cara positivisme. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh Mbah Maridjan bersifat personal dan internal karena tidak dinyatakan dengan: kata-kata, simbol-simbol (nyata), atau formula matematis. Dalam konteks yang lebih luas pengetahuan Mbah Maridjan dapat digolongkan ke dalam pengetahuan yang tak terungkapkan. Pengetahuan tak terungkapkan merupakan integrasi antara kegiatan intelektual dengan unsur-unsur pengalaman personal ke dalam satu pemahaman. Pemahaman menyeluruh tentang sesuatu terdiri atas fakta-fakta partikular yang dicermati oleh kelompok positivisme dan pengetahuan tentang keseluruhan yang dibangun oleh banyak kelompok lain. Pengetahuan kita yang menyeluruh tentang Merapi adalah gabungan antara pengetahuan yang dibangun oleh kelompok positivisme (ahli gunung berapi) ditambah dengan pengetahuan yang tak terungkapkan yang dikonstruksi oleh anggota komunitas Gunung Merapi yang lain. Masing-masing mempunyai aktivitas, prosedur dan temuan yang khas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar